Jumat, 09 Januari 2015

Cerpen : Sabang, I Love Him

           Risa melangkahkan kakinya menyusuri hamparan rerumputan Benteng Jepang yang siang itu terlihat berkilau karena matahari. Sesekali ia melayangkan pandangannya ke langit seakan melihat seseorang disana. Angin laut meniup lembut pasmina peach yang ia pakai. Di sisi lain, sepasang mata memandangi Risa yang tengah merogoh kedalam tas vintagenya lalu mengeluarkan sebuah kamera. Ia terlihat sedikit bingung ketika menyalakan kamera ungu dengan motif pita pink keemasan itu.

      "Biar aku bantu”, ucap sebuah suara tepat dibelakang Risa. Risa tidak menggubris dan tetap mencoba menyalakan kameranya. Tiba-tiba sebuah tangan dengan sigapnya memutar tubuh Risa membuat Risa terkejut hingga menjatuhkan kamera yang dipegangnta. Sosok itu, lelaki yang tadi ia lihat di langit. Dia, Davi.
~~~
Sore ini Risa dan sahabatnya, Firsta sedang asyik menikmati indahnya matahari terbenam dari Cassanemo yang berdiri megah dipinggir pantai Sumur Tiga, Sabang sambil menikmati segelas Ice cream hazelnut. Snorkeling seharian ternyata membuat kedua sahabat ini kelelahan.
“Indah banget ya Sa taman bawah lautnya”, ucap Fy sapaan akrab Firsta. Cewek yang hobby makan ini memang sahabatan akrab dengan Risa. Kemana-mana selalu berdua dan bagi Risa, Fy adalah sahabat sekaligus kakak yang paling setia.
“Ga kalah ama Bali kan? Senangkan aku ajak liburan kesini?”, sahut Risa.
“Senang donk beb, apalagi udah selesai Wisuda begini, badan jadi terasa ringan”, jawab Fy sambil mengerakkan tubuhnya kekiri dan kanan.
“ Senang sih senang, tapi badan itu harus disenangin juga donk,eh maksud aku tuh dikecilin”, sambung Risa dengan tertawa disambung tawa Fy yang memecah keheningan sore yang indah itu.
~~~
Malam di Pulau Weh memang tidak seindah dikota-kota besar. Tidak akan ada lampu kerlap-kerlip seperti yang biasanya menghiasi gedung-gedung besar diperkotaan. Dengan setelan dress panjang berwarna peach Risa berjalan keluar kamar menuju teras yang langsung berhadapan dengan laut. Risa dan Fy memutuskan untuk menyewa bungalow yang ada tepat dipinggir pantai Iboih karena panoramanya yang sangat indah dan hawanya masih sejuk. Hanya ada beberapa lampu yang menyinari tiap kamar  yang membuatnya bisa melihat kunang-kunang dikejauhan. Risa duduk dikursi kayu yang  bersandar pada tiang kayu jati yang dipahat indah.
“Mungkin ini hal bodoh, tetapi aku mencintaimu Dav”, ucap Risa dengan suara perlahan tak ingin didengar oleh Fy yang sedang asyik memolesi kosmetik diwajahnya. Pasmina motif tribal  yang digunakan Risa beterbangan tertiup angin. Risa merasa bahwa hatinya telah membeku, dinginnya melebihi dingin malam ini. Risa mulai  teringat dengan lelaki yang kemarin mengantarkannya ke Pelabuhan Ulee Lheu ketika ia hendak berangkat ke Pulau Weh.
Lelaki berhati lembut, pintar, cerdas dan tampan. Lelaki yang sangat sempurna untuk mendampingi Risa. Dav baru saja menyatakan cinta sehari sebelum Risa melakukan perjalanan ke Pulau Weh. Hal inilah yang mengganggu suasana liburan Risa. Rasa ragu mulai muncul dihati Risa. Keinginannya untuk melanjutkan perjalanan bersama Firsta ke Singapura pasti tidak akan terasa indah jika hatinya masih saja diusik pertanyaan dari Dav. Risa mengambil telpon genggamnya dan mulai mengetik pesan Line untuk Davi.

Dav, kamu tau tujuanku setelah ini dan aku berharap aku benar. Temui aku jika memang kita ditakdirkan bertemu

Line dikirim kepada Davi Tirana. Tidak ada balasan, dua,tiga, hingga lima menit masih belum ada balasan. Risa dengan kecewa melangkah kembali ke kamar.
~~~
“Pokoknya hari ini hari terakhir kita di Pulau Weh, so kita harus jelajah semua tempat wisata yang ada disini”, teriak Fy dari dalam Bungalow. Risa yang asyik menyeruput  teh hangat hanya manggut-manggut tanda setuju yang tidak iklas. Pagi itu Risa memakai setelan semi dress pantai motif bunga berwarna biru neon lengkap dengan pasmina sifon berwarna peach lembut.
“Ok, semangat ladies, nikmati harimu”, gumam Risa seraya menyemangati dirinya untuk kembali hidup.
“Fy cepetan, boat yang jemput udah datang ni”, teriaknya lagi ketika boat yang disediakan untuk sarana transportasi penginap bungalow di Pantai Iboih datang.
“Segar banget udaranya”, ucap Risa sambil menyentuh permukaan air laut yang biru muda dengan tangannya.
“Bisa lihat ikan-ikan juga ya dari atas ini Sa, kalau aja ada Dav pasti liburan kita makin bahagia”, teriak Fy. Risa sontak terdiam, dirogohnya ponsel dan tak ada tanda-tanda pesan masuk disana. Wajahnya kembali murung.
“Wah gadis cantik, baru pagi-pagi udah murung aja, lihat sini donk”, terdengar suara Fy memecah lamunan Risa.
 “Crikckk”, suara kamera DSLR Fy.
“Risa memang cantik ya, lagi bengong aja tetap cantik”, puji Fy. Merekapun tertawa bersama.
~~~
Setelah hampir 15 menit tawar menawar dengan pemilik jasa penyewaan sepeda motor, Risa dan Fy akhirnya memilih memakai motor sewaan untuk mengelilingi Pulau Weh. Dua kali kesana membuat Risa yakin bahwa ia sudah hafal betul jalanan di pulau itu. Kedua gadis berhijab itupun terlihat asyik bercengkrama ria selama diperjalanan. Mereka telah singgah di beberapa tempat seperti Puncak Balohan, Taman Kota Sabang, Tugu Nol Km, dan Pantai Sumur Tiga. Setelah foto dengan berbagai gaya khas cewek hijaber mereka melanjutkan perjalanan kembali.
“Ke Benteng Jepang yuk?”, ajak Risa dengan semangatnya.
“Tumben nih kamu semangat banget ajakin aku”, celoteh Fy.
“haha..aku rindu tempat itu aja kok”, jawab Risa dengan wajah memerah. 
Tepat siang hari, mereka telah tiba di Objek Wisata, Benteng Jepang yang berada tidak jauh dari pantai Anoi Hitam.
“Sa, aku laper ni, perut udah kriuk-kriuk, lelah muter-muter dari tadi nih kayaknya”, ucap Fy seraya memelas pada Risa.
“Piye toh, perut aja yang dipikirin”, celutuk Risa dengan senewennya.
Dengan berat hati Risa mengiyakan ajakan Fy untuk makan siang. Risa menuntun Fy yang bertugas sebagai supir ke restoran favoritnya Mie Sedap. Risa memesan seporsi Mie Sedap Goreng berbeda dengan Fy yang langsung memesan dua porsi.
“Emang ya kalau udah kelaperan”, celoteh Risa panjang lebar pada Fy yang sedari tadi asyik ngunyah keripik.
 Risa dan Fy adalah sahabat yang sama-sama menyukai sambel dan ini terlihat dari mangkuk sambel yang hampir ludes isinya. Beberapa mata menatap kedua gadis tersebut. Wajar saja karena keduanya memiliki wajah yang cantik dan juga selera fashion hijab yang tinggi.
“aku mau touch-up bedak dulu ya Sa, kamu tunggu bentar ya “, ujar Fy setelah menyelesaikan makan siangnya.
“Jangan kelamaan, ingat loh kapal kita berangkat sore ini, belum juga ke Benteng Jepang”, celoteh Risa lagi.
“Iya..iya”, jawab Fy sambil melangkah menuju toilet. Bosan menunggu , Risa berjalan keluar restoran. Ia sedari tadi tertarik dengan penjual aksesoris khas Pulau Weh yang tokonya berada tepat di depan restoran.
“Mas, gelang untuk cowok ada ga?”, Tanya Risa pada pedagang yang kira-kira seumuran dengannya.
 “Ada mba, ini dari bahan kayu dan ini dari bahan kulit penyu”, jawab si pedagang sambil menunjukkan dua jenis gelang dengan banyak model kepada Risa.
“Saya mau yang ini deh mas, pake diukir bisa ga mas?”, ucap Risa seraya mengambil gelang yang terbuat dari kayu.
“bisa mbak, tunggu sebentar ya mbak”, jawab si pedagang. Dari kejauhan Risa melihat kedatangan Fy.
“kamu aku cariin dari tadi, ternyata disini, wah aksesorisnya lucu-lucu, beli yuk Sa”, ujar Fy mulai membuat suasana ribut kembali. Kedua gadis tersebutpun kembali disibukkan dengan  foto-foto dan belanja buah tangan khas Pulau Weh.
“Ya ampun, udah hampir jam 3 ni, yuk kita balik ke Benteng Jepang, nanti keburu kapalnya datang lagi”, keluh Risa setelah menyadari waktunya tersita untuk berbelanja oleh-oleh.
“iya deh nona, kayak mau jumpain seseorang aja”, jawab Fy dengan sewot sambil komat-kamit ga menentu.
“benar..aku memang ingin bertemu seseorang fy”, gumam Risa dalam hati.
~~~
Perjalanan ke Benteng Jepang setidaknya memakan waktu 15 menit jika Fy yang mengendarai motor. Panorama yang indah menjadi penyebabnya apalagi kalau bukan untuk selfie sejenak. Namun bagi Risa setiap waktu sangat berarti hari ini.
“Fy, parkirin motornya disitu aja ya, jangan lupa pasang gembok pengaman”, teriak Risa dari tangga setapak menuju puncak Benteng Jepang.
“Ada apa sih Risa buru-buru banget”, gumam Fy dengan nada curiga. Risa masih berjalan dengan pelan. Dalam hati ia merasa sangat sesak tak tau apa yang akan terjadi ketika ia sampai diatas nanti.
“Huh”, terdengar desahan nafas Risa. Perjalanan yang menanjak membuatnya sedikit lelah.
“Apa dia benar-benar datang? Apa ia mengerti maksud pesanku semalam?”, banyak pertanyaan berkecamuk di hati Risa.
Risa telah tiba di Puncak Benteng Jepang namun wajah gadis keturunan Arab itu tiba-tiba berubah muram.
“Ga ada, ga datang”, ucapnya dengan nada kecewa. Air matanya menetes. Semakin ia memandangi sekeliling, makin menetes airmatanya karena ternyata Dav tak ada disitu, tidak seperti harapannya. Fy yang baru saja tiba langsung memeluk sahabatnya itu.
“Aku tau kamu nunggu Dav kan? Sabar sayang mungkin dia menunggu kamu di Banda, bukan disini. Sebentar ya aku ambilin air yang tertinggal di motor ya?”, hibur Fy sembari pergi mengambil air untuk menenangkan Risa yang masih menangis sambil menahan sesak dadanya.
“Benar kata kamu Fy aku yang bodoh, berharap dia akan mengejarku sampai kesini”, gumam Risa dalam hati. Perlahan ia menyeka air matanya.
“kenapa sih dengan aku? Please Risa, Don’t be sad”, usaha Risa menghibur dirinya sendiri. Risa berdiri dan menghapus airmata yang tersisa di wajah cantiknya. Ia sangat menyukai tempat ini, tempat yang pernah ia datangi bersama Dav dan sahabatnya yang lain ketika mereka masih kuliah dulu. Dan disitulah ia mulai jatuh hati pada Davi.
Davi mengajarkannya banyak hal, mengajarkan untuk menjadi kuat ketika ia harus kehilangan orangtuanya k arena sakit. Dav juga yang menguatkannya untuk bisa menjadi seperti sekarang sebagai wartawan di salah satu  majalah cewek terpopuler di Indonesia  yang membuat Risa pernah mengelilingi hampir semua Negara di Asia diumurnya yang masih muda. Ia mencintai Dav dengan sepenuh hati tetapi hatinya tak berani untuk mengakui.
Ia mulai melangkah di atas rerumputan yang mengalasi puncak Benteng Jepang dengan indahnya. Sesekali matanya memerhatikan kawanan camar yang terbang dengan lincahnya. Risa sejenak berhenti, menatap kelangit dan tertegun sejenak. Langit mulai memperlihatkan semburat jingga keindahan senja di Pulau Weh.
 “Apa kamu udah ngelupain aku, Dav?”, gumam Risa.
Ia lalu kembali berjalan ketika ia melihat sekawanan lumba-lumba berenang tidak jauh dari pantai Anoi Hitam yang berada tepat di samping Benteng Jepang. Risa dengan cepat merogoh tas vintagenya untuk mengambil kamera pocket ungu kesayangannya.
 “Aduh kenapa ga bisa nyala sih? Ntar lumba-lumbanya kabur lagi”, omelnya dalam hati.  
“sini biar aku bantu”, ucap suara yang agak terasa ngebass tetapi tidak asing lagi di telinga Risa. Ia tidak menyadari suara itu hingga tanpa diduga seseorang membalik badannya dengan tegas. Kamera yang tadi dipegang oleh Risa terlepas dari genggamannya.
“Dav…Davi..”, ucap Risa terbata-bata.
“Iya Sa, ini aku. Maaf membuatmu sedih”, ucap Davi dengan lembutnya sambil menghapus air mata Risa yang mulai berjatuhan.
“Kamu benar-benar datang mencari aku Dav?”, sahut Risa lagi.
“Iya, aku sudah menunggumu 3 jam disini Sa, tetapi setelah kamu datang aku bahagia. Kamu menunggu aku kan Sa?”, Tanya Dav penuh harapan. Risa mengangguk dengan wajah yang memerah menahan malu.
“Kamu mau jawab pertanyaanku disini kan Sa?”, mohon Dav sambil menatap mata Risa dengan harapan yang mendalam.
Risa merogoh kantong celananya, mengambil gelang yang tadi ia beli di kota Sabang dan menyerahkannya ke Davi.
“Cuma gelang Sa? Kamu ga mau jawab pertanyaanku?”, ucap Dav dengan heran sambil mengambil gelang dari tangan Risa.
“Pakai gelang itu Dav”, Jawab Risa dengan perlahan. Dav menerima gelang yang diberikan oleh Risa dan memperhatikan gelang itu sejenak. Sesaat kemudian raut wajah Dav berubah melihat sebuah kalimat yang ada dibagian dalam gelang berwarna coklat itu. Ia lalu menarik Lisa kedalam pelukannya.
Tulisan didalam gelang--- Aku mencintaimu Dav. Jangan Tanya lagi

Jumat, 26 Desember 2014

Aceh dan Tsunami di Mataku

Foto by google.co.id

Aku masih ingat pagi itu, pagi saat umurku tepat 12 tahun. Pagi yang bagi sebagian umat kristiani diisi dengan kebaktian gereja. Pagi yang menyibukkan setiap rumah tangga. Ya,minggu. Hari dimana anak-anak sedang asyik-asyiknya menghabiskan waktu sambil menonton TV apalagi kalau bukan karena banyaknya film kartun yang ditayangkan dihari ini. Tidak terkecuali aku yang hanya berkutat dengan remote TV yang sesekali kutekan untuk menukar siaran televisi. Nenek yang hari ini menginap di rumah pun ku lihat sedang khusuk melaksanakan shalat duha tidak jauh dari ruang televisi. Ruang televisi berada di lantai 2 rumahku yang memiliki 3 lantai. Sudah hampir dua tahun kami tinggal disini. Tinggal tidak jauh dari tepi laut namun jauh dari ibu kota provisi. Sangat jauh bahkan. Gunungsitoli, itulah nama tempat tinggalku. Berada tepat di Pulau Nias, dan masuk dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara.

Aku masih asyik dengan film yang kutonton. Tak ada yang mengasyikkan pagi ini rasaku hingga sebuah getaran mulai kurasakan mengetarkan tubuhku dan lampu hias yang berada di ruang tamu. Aku seketika panik sambil memperhatikan nenek yang sudah hampir selesai shalatnya. "Gempa!!!"aku mulai panik sambil kuajak nenek melangkah secepat mungkin menuju anak tangga. Saat ini aku hanya berharap dapat segera turun ke lantai satu dan menjauh dari rumah kami yang terlihat masih bergoyang. Setelah tiba di balkon lantai 1 aku melihat mama, papa, dan adik telah menunggu dengan wajah panik. Suasana lingkungan rumahku pun sesaat menjadi ricuh akibat gempa yang lumayan kuat. Nenek langsung menuntun kami untuk menyebut nama Allah di dalam hati hingga gemetaranku hilang.

Beberapa menit kemudian aku diajak naik kembali oleh nenek. Aku yang masih syok dengan gempa yang tadi kurasakan hanya bisa berbaring lemas di depan televisi yang masih menyala. Ku ambil remote dan mengganti saluran televisi. Aku memilih mendengar berita karena aku sangat penasaran dengan apa yang baru saja terjadi di kotaku. Ditelevisi aku melihat bagaimana presenter dengan wajah yang tegang memberitakan bahwa gempa yang terjadi bukan hanya di Nias saja namun juga terasa hingga Aceh, Padang, Medan dan luar negeri. Aku yang kala itu baru saja masuk SMP sangat antusias. Hingga aku mendengar sebuah kata yang sangat menyeramkan bagiku. Tsunami. Tsunami mengantam Aceh dan menghancurkan wilayah daratan. Aku menelan ludah, aku ketakutan sambil berlari kelantai 1 untuk mengajak papa dan mama menonton TV. Mereka sama antusiasnya denganku. Aku teringat pelajaran geografi uang kupelajari beberapa hari yang lalu disekolah. Aku masih ingat bagaimana guruku menggambarkan kuatnya tsunami yang mampu meluluh-lantahkan daratan hingga ratusan kilometer. Mama dan papa sesaat tidak mengerti dengan apa yang dimaksudkan tsunami dalam berita sampai aku menceritakan semua hal yang kuketahui tentang tsunami. Ekspresi wajah mama seketika berubah total, kepanikan terlihat diwajahnya dan mulai menerka-nerka bagaimana nasib mereka yang terkena tsunami. Kesedihan terlihat diwajah cantik mama dan nenek. Kami tetap menunggu perkembangan berita tentang tsunami yang melanda Aceh sampai kami melihat video tingginya hempasan air yang menyerang daratan Aceh. Aku langsung menangis disusul mama dan nenek. Kami hanya bisa terus mendoakan dalam hati agar kerusakan tidak separah yang diberitakan. Namun tuhan berkehendak lain. Pada tanggal inilah bumi Serambi Mekah itu harus berurai air mata, harus menelan luka dan menyerah pada yang kuasa. Tepatnya Minggu, 26 Desember 2004 pukul 08.55 WIB gempa bumi yang kurasakan hingga tempat tinggal ku, Nias mengakibatkan timbulnya gelombang tsunami yang memporakporandakan Aceh, Nias Barat, Srilangka hingg Thailang. Membuat ngilu hati siapapun yang melihatnya. Tangisan dan jeritan terdengar hingga keseluruh belahan negara lewat gencarnya pemberitaan media atas peristiwa paling mengenaskan sepanjang sejarah ini.

Dan kini... 11 Agustus 2011
Aku menginjakkan kakiku dibumi Serambi Mekkah, tempat yang sama sekali aku tidak pernah bayangkan akan kudatangi. Namun takdirlah yang membawaku kesini. Ke kota sejuta keindahan, kota para pencari surga. Kota yang penuh akan ketenangan dan menenangkan hati. Setidaknya itulah pendapatku yang hingga kini masih membuatku betah tinggal disini. Allah yang mengantarkan sampai ke kota ini melalui jalan pendidikan. Lulus ke perguruan tinggi negeri menjadi tiket yang Allah beri dan aku tidak pernah menyesalinya. 

Aceh yang selama ini dikenal sebagai daerah perang dan tidak aman untuk ditinggali ternyata hanya isapan jempol belaka. Aku tidak merasakan hal itu. Namun sebaliknya, ketenangan batin yang akan dirasakan jika tinggal disini. Bahkan umat beragamapun hidup rukun seakan berasal dari satu agama yang sama. Tsunami yang dulu mengancurkan kota ini telah membawa hikmah baru bagi masyarakat Aceh. Aceh kini telah sigap terhadap segala kemungkinan bencana. Aceh telah membuka diri akan kemajuan namun tetap menjaga kearifan lokalnya yang menjadi daya tarik sendiri kota ini. 

Hari ini...Jumat, 26 Desember 2014
Aku turut berbaur bersama warga Banda Aceh, mengikuti napak tilas tsunami. Mencoba mencari segenggam hikmah akibat peristiwa 10 tahun silam. Hikmah yang akan menjadi bekal hidupku kelak bahwa tak ada yang abadi. Aku percaya apa yang ada suatu saat akan kembali kepada Allah SWT. Dengan surah alfatiha yang kubacakan tepat di pemakaman massal korban tsunami Ulee Lheu hari ini aku berharap Allah memberikan ketenangan bagi seluruh korban yang pada hari ini, 10 tahun lalu meregang nyawa. Mereka telah menjadi sebuah pelajaran bagi kami yang masih tersisa didunia. 

Ya Allah,..lapangkanlah kubur saudara-saudaraku yang hari ini telah 10 tahun tertidur karena tsunami. Ya Allah permudahkanlah kami dalam kehidupan ini agar kembali kepadamu dengan sebaik-baiknya.

Aceh dan Tsunami...sebuah kalimat yang takkan pernah habis untuk diperbincangkan.

Sekian.


Foto: Acara 10 th Aceh Commemoratin Tsnuami di Blang Padang, Banda Aceh

Foto: Rumah Tsunami Ulee Lheu, Banda Aceh.










Minggu, 21 Desember 2014

Analisis Tulisan: Kejarlah Daku Kau KuSekolahkan karya Alfian Hamzah


"Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan" merupakan salah satu karya tulis Alfian Hamzah yang merupakan seorang wartawan asal Kediri yang pernah meliput di Aceh pada masa konflik TNI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Alfian menulis tulisan ini berdasarkan pengalamannya selama dua bulan tinggal bersama TNI dan melihat langsung pertumpahan darah yang terjadi di Tanah Rencong. Tulisan yang menjadi salah satu karya jurnalistik sastrawi terbaik ini pernah diterbitkan dalam Majalah Pantau edisi Februari 2003 dan dalam buku Jurnalisme Sastrawi cetakan terbitan pertama tahun 2005. 

Kata "Kusekolahkan" yang terdapat pada judul tulisan ini memiliki arti hukuman/ eksekusi mati bagi anggota GAM yang tertangkap. Kata ini dikenal dikalangan TNI yang saat itu bertugas untuk memburu anggota GAM dan merupakan Slang (bahasa gaul). Sedangkan bagi pasukan BRIMOB hal ini dikenal dengan sebutan "kosong satu".

Ada beberapa tokoh yang berperan dalam cerita ini , diantara:
  • Sang penulis, Alvian Hamzah yang mendapat izin dari panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan Aceh yaitu Mayor Jenderak Djali Yusuf.
  • Muhammad Khusnur Rokhim yang merupakan anggota TNI dari Batalyon 521/Dadaha Yodha yang berperawakan kurus, berwajah tirus, rahang menonjol, hitam, rajin beribadah, dan memiliki seorang anak di Kediri.
  • Letnan Kolonel Ucu Subagia
  • Sersan Handoko yang banyak disenangi oleh warga Aceh dan mampu berbahasa Aceh.

Alur yang digunakan oleh penulis adalah Alur Kronologis dimana penulis dengan fakta bahwa ia berada ditempat kejadian menceritakan peristiwa tahap demi tahap sehingga pembaca seakan dibawa masuk untuk dapat memahami cerita dari awal mulanya. Selain itu penggambaran lokasi/setting tempat yang dilakukan Alfian sangatlah fantastic dimana ia mampu menggambarkan detail lokasi dengan sangat detail dan seakan-akan membawa pembaca tidak hanya membaca tulisannya namun juga mampu membayangkan bagaimana peristiwa demi peristiwa berlangsung. Tulisan yang sangat hebat. 



Analisis ini dibuat untuk memenuhi Tugas Penulisan Kreatif Kelas 03, Ilmu Komunikasi Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Terimakasih.

Kamis, 22 Mei 2014

Gedung Juang Banda Aceh: Saksi Sejarah yang Tertidur

Siang itu sinar matahari mengintip melalui celah-celah pepohonan menerpa bangunan tua yang ada dibawahnya. Tua, kokoh, dan membuat penasaran. Itulah yang ada dibenakku setibanya aku didepan gedung tersebut. Kulangkahkan kakiku memasuki bangunan berwarna kuning pucat yang usianya sudah hampir mencapai seabad ini. Dihari sebelumnya pintu bangunan tua ini selalu tertutup seakan tidak ada yang menghuni padahal lokasinya tepat berada ditengah kota dan menjadi jalur utama masyarakat kota Banda Aceh. Ya, dialah Gedung Juang. Saksi sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia untuk pertama kalinya di Banda Aceh. Tepat dipintu masuk kita akan disambut dengan miniature Pintu Khop berukuran kecil yang menjadi lambang besarnya cinta Sultan Iskandar Muda untuk permasurinya yaitu Putri Pahang dari Malaysia. 
Kondisi pintu masuk gedung ini sudah sedikit lapuk dan membusuk. Bagian jendela dan balkon juga mulai termakan usia. Terlihat kurangnya perhatian pemerintah setempat terhadap situs sejarah paling sakral ini. Padahal jika dibandingkan dengan bangunan lainnya yang berada disekitarnya, bangunan ini sangat besar dengan arsitektur yang unik. Aku melangkah masuk keruang tengah dari gedung ini. Terlihat beberapa lelaki tua yang sedang bercakap-cakap. Melihat kedatangan kami, salah seorang dari mereka lalu menghampiri. Mulailah percakapan singkatku dengan beliau, seseorang yang pernah berjasa untuk rakyat Aceh.


Beliau adalah veteran perang yang saat ini masih memberikan perhatian penuh pada sejarah. Ia berujar bahwa saat ini Gedung Juang telah dialih fungsikan sebagai Legiun Veteran Republik Indonesia(LVRI). Lanjutnya lagi hal itu dikarenakan keprihatinannya terhadap kondisi Gedung Juang yang semakin tidak terkelola dengan baik oleh pemerintah sehingga akan lebih baik jika ia dan veteran lainnya dapat memanfaatkan gedung tersebut. Mereka yang membuat sejarah dan mereka juga yang mempertahankan? Miris rasanya membayangkan hal ini tengah dihadapi oleh para pejuang kemerdekaan di tanah airku ini. Kusudahi dialog singkatku dengan beliau karena kulihat ia mulai kesulitan untuk mengingat beberapa sejarah mengenai gedung ini. 

Satu hal yang menarik yaitu saat ia bercerita mengenai ramainya masyarakat Aceh yang berkumpul di halaman gedung itu ketika proklamasi tengah dideklarasikan oleh Presiden Soekarno di Jakarta yang kemudian disusul oleh semua daerah di Indonesia dan juga Aceh dan Gedung Juang menjadi satu-satunya tempat diproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Aceh.
Aku lalu melanjutkan perjalanan keluar gedung. Hawa sejuk dari pepohonan asam jawa yang telah berusia puluhan tahun dan menjulang tinggi membuat suasana disekitar gedung juang menjadi sangat nyaman. 
Deretan meriam dan mesin-mesin perang peninggalan penjajah Belanda dan tentara Indonesia tersusun rapi didepan Gedung ini. Disebelah kiri kita akan menemukan makam Sultan termansyur di Kutaradja, sebuah sebutan untuk Aceh karena banyaknya raja yang pernah berkuasa di negeri ini. 




Sultan Iskandar Muda (SIM) menjadi salah seorang sultan termansyur se-Aceh hingga kesultanan Deli, Sumatera Utara. Makam sang sultan sangat megah dengah hiasan ukiran kaligrafi arab. Sangat terawat dan bersih, berbeda dengan Gedung Juang. Banyak peziarah yang datang sembari berdoa dan menikmati keindahan area makam dari SIM.
Selain makam SIM, di area Gedung Juga terdapat beberapa makam seperti makam Kandang Meuh dan juga makam keluarga kerajaan tempat dimakamkannya keluarga dari Sultan Iskandar Muda. Makam berprasasti tinggi dengan ukiran khas arab menjadi ciri khas makam para sultan ataupun raja di Aceh. 

Seusai memanjatkan doa untuk para kedamaian para sultan, aku menyudahi perjalananku di kompleks Gedung Juang. Masih banyak tempat  bersejarah lain yang harus aku kunjungi sembari kupahami cerita dibalik terciptanya sejarah itu. Bagiku tak ada yang lebih menarik selain mempelajari sejarah dari berbagai tempat yang kukunjungi. Jadi teringat kalimat yang dilontarkan Presiden pertama Indonesia “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” atau Jas Merah. Sahabat, sejarah tidak akan pernah meninggalkan apapun untukmu jika kau tidak mengingatnya. Karena sejarah ada untuk kau pelajari dan menjadi kehormatanmu dimasa depan.
Semoga dimasa depan Gedung Juang Banda Aceh menjadi salah satu situs sejarah yang mulai dilirik masyarakat Aceh dan bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya tanpa merusak nilai dan cerita dibalik kekokohnya gedung itu.