Jumat, 26 Desember 2014

Aceh dan Tsunami di Mataku

Foto by google.co.id

Aku masih ingat pagi itu, pagi saat umurku tepat 12 tahun. Pagi yang bagi sebagian umat kristiani diisi dengan kebaktian gereja. Pagi yang menyibukkan setiap rumah tangga. Ya,minggu. Hari dimana anak-anak sedang asyik-asyiknya menghabiskan waktu sambil menonton TV apalagi kalau bukan karena banyaknya film kartun yang ditayangkan dihari ini. Tidak terkecuali aku yang hanya berkutat dengan remote TV yang sesekali kutekan untuk menukar siaran televisi. Nenek yang hari ini menginap di rumah pun ku lihat sedang khusuk melaksanakan shalat duha tidak jauh dari ruang televisi. Ruang televisi berada di lantai 2 rumahku yang memiliki 3 lantai. Sudah hampir dua tahun kami tinggal disini. Tinggal tidak jauh dari tepi laut namun jauh dari ibu kota provisi. Sangat jauh bahkan. Gunungsitoli, itulah nama tempat tinggalku. Berada tepat di Pulau Nias, dan masuk dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara.

Aku masih asyik dengan film yang kutonton. Tak ada yang mengasyikkan pagi ini rasaku hingga sebuah getaran mulai kurasakan mengetarkan tubuhku dan lampu hias yang berada di ruang tamu. Aku seketika panik sambil memperhatikan nenek yang sudah hampir selesai shalatnya. "Gempa!!!"aku mulai panik sambil kuajak nenek melangkah secepat mungkin menuju anak tangga. Saat ini aku hanya berharap dapat segera turun ke lantai satu dan menjauh dari rumah kami yang terlihat masih bergoyang. Setelah tiba di balkon lantai 1 aku melihat mama, papa, dan adik telah menunggu dengan wajah panik. Suasana lingkungan rumahku pun sesaat menjadi ricuh akibat gempa yang lumayan kuat. Nenek langsung menuntun kami untuk menyebut nama Allah di dalam hati hingga gemetaranku hilang.

Beberapa menit kemudian aku diajak naik kembali oleh nenek. Aku yang masih syok dengan gempa yang tadi kurasakan hanya bisa berbaring lemas di depan televisi yang masih menyala. Ku ambil remote dan mengganti saluran televisi. Aku memilih mendengar berita karena aku sangat penasaran dengan apa yang baru saja terjadi di kotaku. Ditelevisi aku melihat bagaimana presenter dengan wajah yang tegang memberitakan bahwa gempa yang terjadi bukan hanya di Nias saja namun juga terasa hingga Aceh, Padang, Medan dan luar negeri. Aku yang kala itu baru saja masuk SMP sangat antusias. Hingga aku mendengar sebuah kata yang sangat menyeramkan bagiku. Tsunami. Tsunami mengantam Aceh dan menghancurkan wilayah daratan. Aku menelan ludah, aku ketakutan sambil berlari kelantai 1 untuk mengajak papa dan mama menonton TV. Mereka sama antusiasnya denganku. Aku teringat pelajaran geografi uang kupelajari beberapa hari yang lalu disekolah. Aku masih ingat bagaimana guruku menggambarkan kuatnya tsunami yang mampu meluluh-lantahkan daratan hingga ratusan kilometer. Mama dan papa sesaat tidak mengerti dengan apa yang dimaksudkan tsunami dalam berita sampai aku menceritakan semua hal yang kuketahui tentang tsunami. Ekspresi wajah mama seketika berubah total, kepanikan terlihat diwajahnya dan mulai menerka-nerka bagaimana nasib mereka yang terkena tsunami. Kesedihan terlihat diwajah cantik mama dan nenek. Kami tetap menunggu perkembangan berita tentang tsunami yang melanda Aceh sampai kami melihat video tingginya hempasan air yang menyerang daratan Aceh. Aku langsung menangis disusul mama dan nenek. Kami hanya bisa terus mendoakan dalam hati agar kerusakan tidak separah yang diberitakan. Namun tuhan berkehendak lain. Pada tanggal inilah bumi Serambi Mekah itu harus berurai air mata, harus menelan luka dan menyerah pada yang kuasa. Tepatnya Minggu, 26 Desember 2004 pukul 08.55 WIB gempa bumi yang kurasakan hingga tempat tinggal ku, Nias mengakibatkan timbulnya gelombang tsunami yang memporakporandakan Aceh, Nias Barat, Srilangka hingg Thailang. Membuat ngilu hati siapapun yang melihatnya. Tangisan dan jeritan terdengar hingga keseluruh belahan negara lewat gencarnya pemberitaan media atas peristiwa paling mengenaskan sepanjang sejarah ini.

Dan kini... 11 Agustus 2011
Aku menginjakkan kakiku dibumi Serambi Mekkah, tempat yang sama sekali aku tidak pernah bayangkan akan kudatangi. Namun takdirlah yang membawaku kesini. Ke kota sejuta keindahan, kota para pencari surga. Kota yang penuh akan ketenangan dan menenangkan hati. Setidaknya itulah pendapatku yang hingga kini masih membuatku betah tinggal disini. Allah yang mengantarkan sampai ke kota ini melalui jalan pendidikan. Lulus ke perguruan tinggi negeri menjadi tiket yang Allah beri dan aku tidak pernah menyesalinya. 

Aceh yang selama ini dikenal sebagai daerah perang dan tidak aman untuk ditinggali ternyata hanya isapan jempol belaka. Aku tidak merasakan hal itu. Namun sebaliknya, ketenangan batin yang akan dirasakan jika tinggal disini. Bahkan umat beragamapun hidup rukun seakan berasal dari satu agama yang sama. Tsunami yang dulu mengancurkan kota ini telah membawa hikmah baru bagi masyarakat Aceh. Aceh kini telah sigap terhadap segala kemungkinan bencana. Aceh telah membuka diri akan kemajuan namun tetap menjaga kearifan lokalnya yang menjadi daya tarik sendiri kota ini. 

Hari ini...Jumat, 26 Desember 2014
Aku turut berbaur bersama warga Banda Aceh, mengikuti napak tilas tsunami. Mencoba mencari segenggam hikmah akibat peristiwa 10 tahun silam. Hikmah yang akan menjadi bekal hidupku kelak bahwa tak ada yang abadi. Aku percaya apa yang ada suatu saat akan kembali kepada Allah SWT. Dengan surah alfatiha yang kubacakan tepat di pemakaman massal korban tsunami Ulee Lheu hari ini aku berharap Allah memberikan ketenangan bagi seluruh korban yang pada hari ini, 10 tahun lalu meregang nyawa. Mereka telah menjadi sebuah pelajaran bagi kami yang masih tersisa didunia. 

Ya Allah,..lapangkanlah kubur saudara-saudaraku yang hari ini telah 10 tahun tertidur karena tsunami. Ya Allah permudahkanlah kami dalam kehidupan ini agar kembali kepadamu dengan sebaik-baiknya.

Aceh dan Tsunami...sebuah kalimat yang takkan pernah habis untuk diperbincangkan.

Sekian.


Foto: Acara 10 th Aceh Commemoratin Tsnuami di Blang Padang, Banda Aceh

Foto: Rumah Tsunami Ulee Lheu, Banda Aceh.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar